Judi Online - Kedatangan Sir Alex Ferguson ke Manchester United pada 1986 boleh dibilang menjadi momentum penting dalam perkembangan klub yang bermarkas di Old Trafford itu. Dalam satu dekade, tim ini menjadi pencetak prestasi luar biasa yang menarik penggemar dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Bagi penulis, kedatangan Sir Alex Ferguson di Manchester United pada 6 November 1986 tidak punya banyak arti, kecuali manajer asal Skotlandia itu datang pada tahun yang sama dengan penulis dilahirkan.
Judi online24jam slot Gudanproduk.com Namun, 10 tahun kemudian, Manchester United yang diraciknya telah mengoleksi 13 gelar juara, yaitu tiga trofi Premier League, tiga trofi Piala FA, satu trofi Piala Liga, empat trofi Community Shield, satu trofi Piala Winners, dan satu trofi Piala Super Eropa.
Penampilan apik Manchester United yang dikapteni Eric Cantona, bersama sejumlah pemain muda yang dikenal dengan sebutan Class of '92 seperti mendominasi di tanah Inggris. Setelah itu, The Red Devils harus bersaing ketat dengan tiga klub lain, Arsenal, Chelsea, dan Liverpool pada era 2000-an.
Manchester United memiliki pemain-pemain dengan keunggulan masing-masing pada saat itu. Ryan Giggs yang berada di sisi kiri memiliki kecepatan dan kekuatan kaki kiri yang luar biasa.
Sementara di sisi kanan ada David Beckham yang memiliki kaki kanan yang berbahaya, baik ketika melepaskan umpan silang, menembak bola dengan akurat dari jarak jauh, hingga tendangan bebas yang selalu menjadi gol indah.
Tim racikan Sir Alex Ferguson kala itu benar-benar membuat The Red Devils menjadi raja di sepak bola Inggris. Sang kapten, Eric Cantona juga mendapatkan julukan King.
Manchester United mampu menutup dekade tersebut dengan indah. David Beckham dkk. berhasil meraih treble dengan mengawinkan gelar juara Premier League, Piala FA, dan trofi Liga Champions pada 1999.
Dominasi Manchester United pada era 1990-an di Inggris, dan menutup dekade tersebut dengan menjadi juara Liga Champions selain meraih trofi Premier League dan Piala FA, menjadi daya tarik bagi penikmat sepak bola di seluruh dunia.
Masih terekam jelas dalam ingatan penulis, bagaimana dramatisnya keberhasilan tim asuhan Sir Alex Ferguson itu pada akhir musim 1998/1999. Musim tersebut menjadi yang paling luar biasa dalam perjalanan Manchester United, terlebih karena pada musim sebelumnya mereka tidak mendapatkan satu trofi pun.
Penentuan gelar juara Premier League saat itu terjadi pada pekan terakhir. Manchester United menghadapi Tottenham Hotspur pada 16 Mei 1999.
The Red Devils tertinggal lebih dulu setelah gawang Peter Schmeichel dibobol oleh Les Ferdinand. Melihat gol tersebut, terasa sedih di dalam hati membayangkan gelar juara di depan mata yang mungkin saja akan lenyap.
Namun, berkat gol yang dicetak oleh David Beckham pada menit ke-43, Manchester United punya kans lagi untuk mengangkat trofi juara Premier League di depan penggemarnya di Old Trafford. Akhirnya hanya dalam tiga menit setelah babak kedua dimulai, Andy Cole mampu membalikkan kedudukan sekaligus memastikan kemenangan yang mengantar tim asuhan Sir Alex Ferguson itu menjadi juara.
Penentuan gelar juara berikutnya terjadi di ajang Piala FA. Manchester United berhadapan dengan Newcastle United pada 22 Mei 1999. Teddy Sheringham membawa timnya unggul cepat pada menit ke-11, hingga akhirnya Paul Scholes memastikan kemenangan 2-0 lewat golnya pada menit ke-52.
Sementara pada 26 Mei 1999, Manchester United tampil menghadapi Bayern Munchen dalam laga final Liga Champions di Camp Nou. Final ini merupakan penantian panjang bagi Manchester United yang sebelumnya hanya menjuarai kompetisi elite Eropa itu pada 1967/1968.
Bayern Munchen adalah lawan yang sudah sempat dua kali dihadapi Manchester United di fase grup. Namun, kedua tim dua kali bermain imbang saat itu, 2-2 di Munchen dan 1-1 di Old Trafford.
Satu yang paling penulis ingat saat pertandingan baru dimulai, Bayern Munchen mencetak gol cepat melalui Mario Basler pada menit keenam, ketika penulis sedang berada di toilet. Begitu kembali ke depan layar kaca, badan terasa lemas karena melihat Setan Merah tertinggal.
Harus gregetan sepanjang pertandingan karena banyak peluang yang tidak bisa dikonversi menjadi sebuah gol, asa untuk melihat The Red Devils meraih trofi ketiganya pada musim itu mulai terasa luntur.
Namun, sepak pojok David Beckham pada menit pertama injury time yang dilanjutkan dengan kemelut di depan gawang Bayern Munchen, dan berakhir lewat gol Teddy Sheringham seakan membangkitkan semangat. Suasana dini hari yang sepi di daerah Cibinong, Kabupaten Bogor, itu tiba-tiba ramai.
Maklum, penulis, bersama dua kakak perempuan dan seekor anjing German Shepherd bernama Aster von Vorium di rumah saat itu, begitu hebohnya melihat gol yang dicetak Sheringham. Mungkin anjing kami menjadi satu-satunya yang kurang bersemangat melihat Bayern Munchen kebobolan hingga ia memutuskan untuk buang air besar di ruangan kami menonton televisi.
Sempat kesal dengan kelakuan anjing yang kami pelihara, kami sejenak melupakannya karena gol kembali tercipta lewat kaki Ole Gunnar Solskjaer. "Manchester United juara!!!" pekik saya di dalam rumah saat itu, yang disambut dengan isyarat jari di depan mulut satu dari dua kakak perempuan saya, yang menandakan mungkin saja tetangga kami terganggu karena teriakan saya.
Kemenangan Manchester United di Camp Nou itu mengantarkan saya kepada tidur yang nyenyak dan tidak sabar untuk bertemu dengan teman-teman saya yang kala itu juga menggemari The Red Devils.
Mungkin penulis tidak seperti penggemar Manchester United kebanyakan yang memiliki berbagai koleksi pernak-pernik yang didapatkan langsung dari Old Trafford dan sekitarnya. Namun, pada usia 13 tahun saat itu, cukup banyak cara untuk memperlihatkan betapa hati ini begitu menggemari The Red Devils.
Bahkan penulis tidak ragu untuk menggunting potongan foto dan artikel, baik dari Harian Kompas maupun Tabloid BOLA, mengenai pemain-pemain Manchester United yang kemudian disatukan ke dalam sebuah buku tulis dan menjadikannya sebuah kliping.
Dalam perjalanan ke Lembang, Bandung, bersama keluarga, penulis sempat melihat Majalah bertajuk "Euforia Manchester United" yang diproduksi oleh Tabloid BOLA. Berbekal uang dari budhe (bibi dalam bahasa Jawa), majalah itu akhirnya menjadi satu di antara koleksi pernak-pernik yang bisa dimiliki.
Satu yang masih tersisa hingga saat ini adalah puluhan lembar kartu sepak bola resmi pemain Manchester United yang kala itu bisa didapatkan di Toko Buku Gramedia.
Begitu mengidolakan David Beckham yang punya tendangan bebas dan sepakan jarak jauh yang akurat, penulis tergolong cukup kesulitan untuk bisa mendapatkan kartu pemain yang mengenakan nomor punggung 8 pada laga debutnya bersama The Red Devils itu.
Hingga akhirnya sudah puluhan kartu dimiliki, akhirnya hanya ada satu kartu pemain yang kemudian mengenakan jersey nomor 24, 10, dan 7 di Old Trafford itu. Penulis sempat berpikir, "Mungkin produksinya tidak terlalu banyak karena pemain bintang."
Padahal untuk pemain-pemain seperti Nicky Butt, Eric Cantona, hingga Peter Schmeichel, ada lebih dari satu kartu dengan edisi yang berbeda bisa dengan mudah didapatkan.
Memang, masih usia remaja dan hanya bisa minta kepada orang tua atau kakak untuk bisa membeli koleksi kartu-kartu bola itu, tidak terlalu banyak yang bisa diharapkan. Maklum, satu set kartu saat itu terbilang mahal di era krisis moneter tengah menghantam Indonesia.
Koleksi tersebut membuat penulis ingat betul bagaimana senangnya bisa mendukung Manchester United di era Sir Alex Ferguson. Menjadi penggemar Manchester United saat itu benar-benar bahagia, apalagi sebuah postcard dari Inggris bergambarkan Ole Gunnar Solskjaer lengkap dengan tanda tangannya tiba di rumah.
Berawal dari keinginan saya untuk bisa mengirimkan surat kepada David Beckham saat itu, kakak perempuan saya memberikan semangat dengan ikut menuliskan surat untuk pemain yang menurutnya bagus saat itu, yaitu Ole Gunnar Solskjaer. Kami pun mengirimkannya melalui kantor Pos Indonesia tak jauh dari rumah.
Namun, akhirnya hanya ada satu balasan yang tiba di rumah kami. Balasan itu berupa amplop dengan stempel prangko dari Inggris yang di dalamnya terdapat sebuah foto Solskjaer lengkap dengan tanda tangannya dan pesan terima kasih atas dukungan yang telah diberikan.
Sayangnya, bukti otentik foto tersebut kini dibawa oleh kakak perempuan saya yang memutuskan pindah ke Amerika Serikat sejak 2009, mengingat itu adalah satu di antara banyak memorabilia yang bisa dibawanya sebagai kenangan ketika memutuskan untuk meninggalkan Indonesia.
Perjalanan Sir Alex Ferguson di Manchester United berlangsung lama. Bahkan ada masa-masa di mana penulis tidak terlalu mengikuti perkembangan Manchester United pada dekade 2000an lantaran perginya David Beckham ke Real Madrid pada 2003 serta kesibukan sebagai mahasiswa dan lebih tertarik untuk mengikuti sepak bola nasional.
Kala itu, Timnas Indonesia yang sempat menjadi tuan rumah Piala Asia 2007 dan Persija Jakarta yang bermarkas di Stadion Lebak Bulus dan Stadion Utama Gelora Bung Karno, menjadi hal yang lebih menarik untuk disaksikan. Maklum, pengalaman menyaksikan langsung pertandingan ke stadion ternyata jauh lebih menyenangkan.
Namun, ketika mendapatkan pertanyaan dari kolega, seperti teman maupun rekan kerja, mengenai klub favorit, penulis tidak pernah ragu untuk menyebut Manchester United dan Persija Jakarta. Pengalaman mengikuti langsung perjalanan tim Inggris dan Jakarta itu menjadi dasar kebanggaan untuk menyebut keduanya sebagai tim kesayangan.
Hingga akhirnya Sir Alex Ferguson memutuskan pensiun pada 2013. Saat itu, penulis bekerja sebagai editor di sebuah majalah sepak bola tertua di dunia yang bermarkas di Inggris dan memberikan izin franchise kepada sebuah perusahaan untuk terbit di Indonesia.
Masih ingat dalam benak, Alex Ferguson tercatat meraih 38 trofi sebagai manajer Manchester United, termasuk 13 gelar juara Premier League, 5 trofi Piala FA, dan 2 trofi Liga Champions, yang diraihnya antara 1986 hingga 2013.
Namun, sejak kepergian Sir Alex Ferguson dari bangku manajerial, The Red Devils seakan kehilangan roh yang selama ini membimbing mereka menjadi tim besar.
David Moyes, Ryan Giggs yang menjadi interim, Louis van Gaal, Jose Mourinho, hingga kini Ole Gunnar Solskjaer, belum bisa mengantarkan Manchester United menjadi yang terbaik di ajang Premier League. Manchester United tercatat hanya meraih tiga trofi juara, Piala FA 2015-2016, Piala Liga 2016-2017, dan Liga Europa 2016-2017.
Kini Manchester United dipimpin oleh Ole Gunnar Solskjaer, sang pencetak gol penentu kemenangan Manchester United di final Liga Champions 1998/1999. Solskjaer, yang dulu dikenal sebagai striker berjulukan The Baby Face Assassin, dipercaya menangani Manchester United sejak Desember 2018.
Namun, sebagai satu di antara ratusan pemain yang pernah ditangani oleh Sir Alex Ferguson, Solskjaer juga belum mampu membawa The Red Devils kembali mendominasi di Inggris. Bahkan pada musim ini, rumor pemecatannya justru makin kencang seiring buruknya tampilan Manchester United, terutama di Premier League.
Pertanyaannya, mampukah Ole Gunnar Solskjaer mengakhiri penantian para penggemar Manchester United, termasuk penulis, yang ingin melihat lagi The Red Devils berjaya seperti ketika Sir Alex Ferguson duduk di tepi lapangan sambil mengunyah permen karet?
Kita tunggu saja...